Langsung ke konten utama

Kecacingan pada ternak


Peternakan merupakan salah satu  subsector pertanian yang berperan penting dalam perekonomian.  Berdasarkan hasil sensus peternakan dari Kementrian Pertanian tahun 2011 diketahui bahwa jumlah ternak di Indonesia berupa sapi potong mencapai 14.824 ekor, sapi perah 597 ekor, kerbau 1305 ekor, kambing 17483 ekor, dan domba 11372 ekor (Kementan 2011).  Jumlah ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami peningkatan. Peningkatan ini menunjukkkan bahwa dunia peternakan Indonesia terus mengalami perkembangan. 

Perkembangan dunia peternakan di Indonesia juga didukung oleh oleh berbagai hal salah satunya ialah dari aspek kesehatan ternak.  Di masayarakat permasalahan-permasalahan kesehatan ternak merupakan permasalahan yang umum dihadapi oleh peternak. Permasalahan-permasalahan itu antara lain adanya penyakit infeksius, Penyakit metabolik (karena permasalahan pakan) ataupun permasalahan kecacingan. 

Kecacingan atau cacingan adalah kumpulan gejala gangguan kesehatan akibat adanya cacing parasit di dalam tubuh. Infeksi dapat meliputi pada daerah saluran pencernaan atau pada organ hewan. Di Indonesia banyak di temukan adanya permasalahn kecacingan pada ternak khusunya yang menyerang organ Hati. Masalah kecacingan pada ternak domba, kambing, dan sapi umumnya akan berdampak pada produktivitas ternak. Masalah ini bahkan dapat menjadi masalah utama yang harus segera diselesaikan karena menimbulkan berbagai macam kerugian baik secara klinis maupun ekonomis. Secara klinis infeksi cacing dapat menyebabkan penurunan bobot badan sekitar 20%, kehilangan cairan tubuh, penurunan daya tahan tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian ternak. Kecacingan ini bila dibiarkan akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.

Peternakan di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat. Sistem manajemen peternakannya masih dikelola secara tradisional. Sistem ini mengakibatkan timbulnya berbagai macam infeksi penyakit contohnya cacing. Infeksi cacing dapat terjadi akibat sanitasi dan kebersihan kandang yang kurang baik. Kondisi lingkungan  turut mempengaruhi infeksi cacing pada ternak ruminansia. Kelembaban udara yang tinggi dapat menyebabkan populasi cacing tinggi karena kondis tersebut sangat disukai oleh cacing. Kondisi tersebut juga sangat cocok sebagai tempat pertumbuhan siput sebagai hewan vektor untuk cacing pada ternak. Berbagai macam faktor tersebut wilayah Indonesia menjadi daerah yang cukup rentan terhadap infeksi cacing pada ternak.

Ada beberapa jenis cacing yang sering menginfeksi ternak, antara lain ialah Haemonchus contortus, Fasciola sp, Toxocara vitulorum, Oesophagostomum sp, Bunostomum sp, Trichostrongylus sp, Moniezea, dan masih banyak lagi jenis cacing yang dapat menginfeksi ternak. Umumnya infeksi cacing menyerang pada saluran pencernaan dengan kondisi hewan yang masih muda. Misalnya Haemonchus contortus merupakan cacing nematoda gastrointestinal yang penting pada ternak ruminansia kecil yaitu domba, dan kambing (Qadir, 2010).

Gejala klinis dari hewan penderita kecacingan baru akan tampak setelah masalah kecacingan ini sudah berjalan kronis, gejala yang terlihat berupa penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit terlihat kusam,  penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, dan penurunan produksi susu pada ternak perah.

Siklus hidup dari cacing umumnya sama, ternak biasanya terinfeksi telur cacing yang masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan. Didalam tubuh, cacing kemudian berkembang biak. Setiap jenis cacing biasanya menyerang organ yang berbeda-beda. Ada yang menyerang dan menetap di saluran pencernaan namun ada juga yang bermigrasi keorgan tubuh. Cacing dewasa dalam tubh ternak akan berkembang biak dan menghasilkan telur. Telur ini kemudian akan dikeluarkan lagi melalui feses dan melanjutkan siklua hidupnya kembali.

Upaya penanggulangan masalah kecacingan harus dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan agar masalh kecaingan ini dapat diatasi. Cara-cara penanggulanganya dapat dilakukan denga memperhatikan konstruksi dan sanitasi kandang, menjaga kebersihan kandang, menghindari pengembalaan yang terlalu pagi, melakukan pemeriksaan kesehatan, dan pengobatan secara teratur. Pengobatan secara teratur biasa dilakukan dengan pemberian obat-obatan anthelmintik seperti albendazol dan oxbendendozol. Pemberian obat cacing harus dilakukan secara rutin. Selain itu saat ini mulai dikembangkan beberapa cara pengobatan kecacingan dengan mengunakan obat-obatan herbal. Beberapa contoh tanaman yang dapat digunakan sebagai obat-obatan herbal ialah getah pisang, daun pepaya, pinang, bawang putih, daun sirih serta berbagai tanaman herbal lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar diseluruh belahan dunia. Di ind

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Abses pada sapi

Sapi perah Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah. Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang berada dalam kavitas jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk . Abses itu sendiri merupakan reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebar nya benda asing di tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang . Gejala khas abses adalah peradangan, merah, hangat, bengkak, sakit, bila abses membesar biasanya diikuti gejala demam, selain itu bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).