Langsung ke konten utama

Cacingan Pada Hewan Kesayangan (Anjing dan Kucing)

Tau gak ?? kalau hewan kesayangan anda bisa terkena Cacingan
dan parahnya lagi.. cacingan pada hewan kesayangan anda bisa menular kemanusia... 
Biar lebih paham dan lebih jelas, ayo kita bahas cacingan pada hewan kesayangan ini secara lebih mendalam

Cacingan atau helminthiasis, merupakan persoalan penting yang banyak diremehkan oleh pemilik hewan. Padahal kondisi cacingan dapat menyebabkan efek yang sangat merugikan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Lebih parahnya lagi ternyata ada beberapa jenis cacing yang bersifat zoonotik artinya dapat menular dari hewan ke manusia. Selain karena berbahaya, penyakit cacingan juga ternyata merupakan salah satu penyakit yang sangat sering ditemukan pada hewan. Laporan dari Suratma et al. pada tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat kejadian kecacingan pada kucing di daerah Badung, Bali mencapai 90,97 %. Lebih spesifik lagi pernah dilaporkan jumlah pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta yang terinfeksi cacing Ancylostoma spp. sebanyak 491 ekor dari bulan Januari-Desember 2000 (Sunandar 2003).
Cacingan itu sendiri merupakan suatu kondisi dimana tubuh terinfeksi oleh parasit cacing. Beberapa jenis cacing yang dapat menginfeksi hewan antara lain cacing cambuk (Whipworms), cacing gelang (Roundworms), cacing pita (Tapeworms), cacing tambang (Hookworms), dan cacing jantung (Heartworm). Masing-masing dari jenis cacing ini akan menimbulkan efek yang berbeda-beda.

Gambar. Trichuris vulpis (a), Toxocara spp.(b), Dipylidium caninum (c), Ancylostoma caninum (d), Dirofilaria immitis (e). (Pfizer Atlas of Veterinary Clinical Parasitology, 2000).
Gejala Kecacingan
Dampak cacingan pada hewan sangat beragam, mulai dari penurunan nafsu makan, malnutrisi, pertumbuhan berat badan yang tidak optimal, anemia, bahkan sampai dapat menyebabkan muntah, dan diare. Diare yang disebabkan oleh kecacingan dapat bersifat akut maupun kronis yang diikuti oleh perdarahan, kondisi dehidrasi, peradangan dan kerusakan usus. Selain itu, kondisi cacingan juga dapat menyebabkan terjadi obstruksi/sumbatan pada usus, penurunan daya tahan tubuh, paling parahnya lagi bisa berdampak kematian.
Sesuai dengan efek yang ditimbulkan, hewan yang terkena cacingan akan terlihat kurus (tulang rusuk sangat teraba) dengan perut yang besar, bulu yang kusam, membran mukosa terlihat pucat, mata terlihat sayu, terdapat kotoran mata yang terus menerus (ocular discharge purulent), dan kotoran/feses yang sering memilki konsistensi yang lembek atau cair. Pada beberapa kasus, hewan yang terinfeksi cacing belum tentu menunjukkan adanya gejala. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan hal tersebut dengan cara pemeriksaan sampel feses. Berdasarkan Guidlines for Controling Internal & External Parasites (CAPC), pemeriksaan feses perlu dilakukan secara rutin sebanyak 2-4 kali pada usia tahun pertama dan selanjutnya sebanyak 1-2 kali setahun pada hewan dewasa, tergantung pada kondisi kesehatan hewan dan faktor lifestyle.

Cara Penularan Cacing
Cara penularan cacing ke tubuh hewan berbeda-beda tergantung pada jenis cacingnya. Contohnya pada cacing gelang/Roundworms seperti Toxocara canis (pada anjing), Toxocara cati (pada kucing), dan Toxocaris leonina (pada anjing dan kucing), cacing ini dapat menular dari induk ke anak melalui plasenta ataupun melalui susu saat anak menyusui. Penularan ke anak maupun ke hewan lainnya juga bisa diperoleh dari lingkungan yang telah terkontaminasi oleh telur cacing yang berada di feses. Cacing dewasa umumnya akan hidup dalam usus halus.
Toxocara spp. Tidak hanya berbahaya bagi hospes definitif anjing dan kucing, tetapi juga dilaporkan dapat menginfeksi manusia (tergolong penyakit zoonotik). Manusia dapat tertular toxocariasis karena tidak sengaja termakan telur infektif yang terdapat di dalam feses kucing, anjing, tanah yang terkontaminasi, ataupun larva yang terdapat pada jaringan organ kucing dan anjing (paru-paru, hati, dan ginjal) (Kusnoto 2005). Dalam tubuh manusia larva yang termakan dapat bermigrasi sehingga digolongkan menjadi visceral larva migrans dan ocular larva migrans. Migrasi larva ke mata dapat menyebabkan kebutaan, sedangkan migrasi larva ke organ visceral dapat mencapai paru-paru dan otak sehingga menimbulkan gangguan yang berat baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Siklus hidup cacing Toxocara spp. dan penularannya pada manusia dapat dilihat pada gambar berikut.
Pada cacing pita seperti Dipylidium caninum dan Taenia spp. penularanya dapat melalui vektor pinjal (sejenis parasit di kucing). Di dalam tubuh pinjal, telur berkembang menjadi fase larva infektif yang siap untuk menginfeksi hewan peliharaan kita kapan saja. Larva infektif dari cacing pita ini masuk kedalam tubuh hewan bersamaan dengan pinjal saat hewan melakukan self grooming (menjilati dan membersihkan tubuhnya sendiri). Setelah masuk kedalam tubuh hewan, cacing ini akan berkembang dan banyak bersarang pada saluran pencernaan hewan khususnya pada bagian usus halus. Cacing ini menimbulkan kerugian yang cukup besar tentunya karena dapat menyebabkan penyerapan nutrisi hewan menjadi tidak optimal.
Selain kedua jenis cacing diatas, jenis cacing lainya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar pada hewan peliharaan kita ialah cacing tambang (Hookworms) seperti Ancylostoma sp. Ancylostoma sp. merupakan jenis cacing yang paling banyak bertanggung jawab pada kasus-kasus kecacingan yang diikuti oleh perdarahan hebat pada bagian usus. Cacing ini dapat menginfeksi hewan peliharaaan kita melalui beberapa cara antara lain melalui susu dari induk, termakan larva infektif, atau penetrasi langsung kedalam kulit. Cacing ini memiliki siklus hidup yang pendek berkisar 3-4 minggu. Anak anjing ataupun kucing sudah dapat terinfeksi sejak lahir. Cacing ini juga dapat menular kemanusia melalui penetrasi langsung ke dalam kulit yang dapat menyebakan kondisi cutaneus larva migrans.  (Pfizer Atlas of Veterinary Clinical Parasitology, 2000).



Pencegahan dan Pengobatan  
Pada anak anjing, anak kucing, hewan yang bunting, dan menyusui memiliki faktor risiko tertinggi untuk terinfeksi cacing. Selain itu mereka berperan aktif dalam mengkontaminasi lingkungan dan menularkan kecacingan pada manusia. Oleh karena itu tindakan pencegahan dengan pemberian obat cacing akan sangat efektif apabila diberikan pada inisiasi awal. Hal tersebut dikarenakan hewan muda dapat terus mendapatkan infeksi yang baru baik dari induk (transplasenta & transmamaary) maupun dari lingkungan. Berdasarkan alasan tersebut, sangat penting dilakukan pemberian obat cacing kepada hewan peliharaan kita sebelum dikawinkan.
The Centers for Disease Control and Prevention (2014) merekomendasikan treatment pemberian obat cacing mulai diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 8 minggu untuk anak anjing, sedangkan pada anak kucing pemberian dimulai pada umur 3, 5, 7, dan 9 minggu untuk mencegah pembentukan infeksi T. canis, T. cati, dan Ancylostoma caninum. Pemberian obat cacing secara bersamaan pada hewan peliharaan dengan rentang waktu 2 minggu pasca dilahirkan penting dilakukan untuk mengeliminasi terjadinya aktivasi larva cacing. Selanjutnya pemberian obat cacing dilakukan sekali sebulan sampai hewan peliharaan berumur 6 bulan dan selanjutnya rutin diberikan 3 bulan sekali. Pedoman deworming pada hewan neonatal dan dewasa serupa juga dikeluarkan oleh Companion Animal Parasite Council.
Tindakan pencegahan dengan deworming sangat direkomendasikan sejak periode neonatal walaupun hasil pemeriksaan awal feses negatif, karena hasil yang diperoleh bisa saja keliru/negatif palsu. Perlunya dilakukan deworming secara rutin dan pemberian yang berulang pada hewan peliharaan kita, dikarenakan infeksi cacing secara berulang sangat mungkin terjadi sepanjang hidup mereka (Stull et al. 2007), selain itu obat cacing hanya dapat melumpuhkan/mematikan bentuk cacing dewasa saja, tidak bisa digunakan untuk membasmi pada tahap telur dan larva.  

Kondisi lain yang juga sangat disarankan untuk dilakukan deworming terlebih dahulu yaitu pada hewan yang akan divaksin. Pemberian obat cacing sangat penting dalam menunjang keberhasilan vaksinasi karena malnutrisi akibat infeksi cacing akan menurunkan terbentuknya antibodi pasca vaksinasi dan dapat meningkatkan kemungkinan adanya infeksi lain seperti infeksi bakteri dan virus. Pemberian obat cacing pada hewan yang akan divaksin dilakukan minimal 1 minggu dan maksimal 3 minggu sebelum vaksinasi. Obat cacing yang diberikan setelah 1 bulan harus diulangi lagi untuk menghindari adanya infeksi cacing yang baru (Rajanti 2016).
Selain tindakan pencegahan dengan deworming pada hewan, tindakan pencegahan pada manusia juga diperlukan untuk menghindari terinfeksinya penyakit zoonotik. Berikut beberapa hal yang dapat anda lakukan agar keluarga dan hewan peliharaan anda dapat terlindungi:
  1. -          Bersihkan tempat tinggal hewan peliharaan anda setidaknya sekali seminggu
  2. -          Feses hewan peliharaan harus dikuburkan dalam-dalam atau dikantongi dan dibuang di tempat sampah agar tidak mencemari tanah
  3. -     Cuci tangan anda dengan sabun dan air hangat setelah menangani kotoran hewan ataupun setelah bermain dengan hewan peliharaan anda
  4. -          Ajari anak untuk tidak bermain di tanah yang diduga terkontaminasi dan pentingnya kegiatan mencuci tangan untuk mencegah infeksi
  5. -          Berikan obat cacing rutin pada keluarga anda, terutama bagi keluarga yang memiliki hewan peliharaan.
Penggunaan obat cacing untuk pencegahan dan pengobatan kasus kecacingan sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter hewan anda. Setiap obat cacing memiliki target jenis cacing yang berbeda-beda, meskipun beberapa obat cacing efektif melawan lebih dari satu jenis cacing namun tidak ada obat yang efektif melawan semua jenis cacing secara bersamaan. Diagnosa yang tepat oleh dokter dan rencana treatment yang sesuai akan menjadikan pengobatan lebih aman dan efektif. Oleh karena itu, tunggu apa lagi? Segera konsultasikan kesehatan hewan peliharaan anda ke dokter hewan terdekat J.

Sumber Acuan:
Blagburn BL, Dryden MW. 2000. Pfizer Atlas of Veterinary Clinical Parasitology. USA: Pfizer.
Centers for Disease Control and Prevention [CDC]. 2004. Guidlines for Veterinarians: Prevention of Zoonotic Transmission of Ascarids and Hookworms of Dog and Cat. www.cdc.gov
Kusnoto. 2005. Prevalensi toxocariasis pada kucing liar di surabaya melalui bedah saluran pencernaan. Media Kedokteran Hewan 21(1).
Rajanti. 2016. The Lovely One. ID: Zoetis.
Stull JW, Carr AP, Chomel BB, Berghaus RDm Hird DW. 2007. Small animal deworming protocols, client education, and veterinarian perception of zoonotic parasites in western Canada. Can Vet Journal 48: 269-276.
Sturgess CP. 2000. Diseases of the alimentary tract. In: Dunn J, editor. Text book of small animal medicine. London: W.B. Saunder; p. 371–447.
Sunandar A. 2003. Prevalensi Kecacingan Ancylostoma spp. pada Anjing [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suratma NA, Oka IBM, Dwinata IM, Arjana AAG, Subrata IM. 2016. Infeksi cacing gastrointestinal yang berpotensi zoonosis pada kucing dikabupaten badung bali. Prosiding. KIVNAS ke-14 2016. Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. 
The Companion Animal Parasite Council [CAPC]. Guidlines for Controlling Internal & External Parasites. www.capcvet.org

Komentar


  1. Admin numpang promo ya.. :)
    cuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indonesia
    banyak kejutan menanti para temen sekalian
    cuma di sini agent judi online dengan proses cepat kurang dari 2 menit :)
    ayo segera bergabung di fansbetting atau add WA :+855963156245^_^
    F4ns Bett1ng agen judi online aman dan terpercaya
    Jangan ragu, menang berapa pun pasti kami proseskan..
    F4ns Bett1ng

    "JUDI ONLINE|TOGEL ONLINE|TEMBAK IKAN|CASINO|JUDI BOLA|SEMUA LENGKAP HANYA DI : WWw.F4ns Bett1ng.COM

    DAFTAR DAN BERMAIN BERSAMA 1 ID BISA MAIN SEMUA GAMES YUKK>> di add WA : +855963156245^_^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar diseluruh belahan dunia. Di ind

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Abses pada sapi

Sapi perah Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah. Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang berada dalam kavitas jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk . Abses itu sendiri merupakan reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebar nya benda asing di tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang . Gejala khas abses adalah peradangan, merah, hangat, bengkak, sakit, bila abses membesar biasanya diikuti gejala demam, selain itu bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).