Langsung ke konten utama

Penyakit Kembung (Bloat) pada Sapi



Sapi merupakan hewan ruminansia yang memiliki sistem pencernaan yang cukup kompleks. Ciri khas dari sistem pencernaan pada sapi ialah memiliki empat lambung. Dari keempat lambung yang ada, salah satu yang paling menonjol ialah rumen. Rumen merupakan bagian yang berfungsi untuk poses pencernaan berupa fermentasi makanan. Sebagian besar pakan pada sapi berupa rumput-rumputan. Rumput-rumputan ini biasanya tersusun atas komponen-komponen karbohidrat berupa selulosa. 

Dalam proses pencernaan selulosa diperlukan proses fermentasi terlebih dahulu. Proses fermentasi ini yang akan merombak komponen selulosa menjadi komponen karbohidrat yang memiliki susunan molekul yang lebih kecil dan dapat diserap oleh tubuh. Proses pencernaan berupa fermentasi dalam rumen utamanya di lakukan oleh mikroorganisme dalam rumen. Proses pencernaan atau fermentasi makanan dalam rumen juga menghasilkan gas, sebagian besar gas yang dihasilkan berupa gas karbondioksida (CO2) dan gas metana (CH4). Fungsi fermentasi pada rumen yang cukup kompleks ini, bila mengalami gangguan salah satunya dapat menyebabkan terjadinya kembung atau Bloat.

Bentuk kembung secara umum dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama ialah kembung berupa gas yang terperangkap karena adanya penyumbatan dan yang kedua ialah kembung berupa busa yang menghambat terjadinya pelepasan gas. Bentuk kembung berupa busa merupakan bentuk yang cukup sering terjadi, hal ini dimungkinkan karena adanya masalah fermentasi pada rumen. Fermentasi rumen yang tidak sempurna salah satunya dapat mengasilkan busa.

Pada kasus kembung karena masalah fermentasi rumen, biasanya disebabkan oleh adanya penambahan konsentrat dengan jumlah yang terlalu tinggi dalam pakan. Konsentrat merupakan bahan yang memiliki kadar pati (karbohidrat dengan molekul kecil/monosakarida) cukup tinggi. Peningkatan jumlah konsumsi konsentrat ini menyebabkan terjadinya peningkatan fermentasi rumen. Peningkatan fermentasi rumen menyebabkan jumlah gas yang dihasilkan semakin tinggi pula sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan volume rumen.

Selain itu peningkatan konsumsi konsentrat dengan kadar pati tinggi juga dapat meningkatkan derajat keasaman dalam rumen atau asidosis. Kondisis
keasaman yang tinggi dapat menekan aktivitas bakteri selulolitik dalam rumen sehingga rumen tidak akan mampu mencerna rumput dengan baik.

Kondisi rumput yang masih basah juga merupakan salah satu penyebab dari terjadinya kembung. Rumput yang basah juga menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan proses fermentasi. Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya pembentukan busa yang dapat menghambat pengeluaran gas. Pembentukan busa pada kasus kembung juga dapat disebabkan oleh banyak faktor yang dihasilkan dari interaksi antara hewan, mikroorganisme rumen, dan perbedaan dalam biokimia tanaman.

Selain karena peningkatan produksi gas dalam rumen, kembung juga dapat disebabkan oleh adanya penyumbatan dari jalan keluarnya gas dalam rumen. Penyumbatan yang terjadi dapat berupa atoni rumen ataupun penyumbatan pada daerah esophagus yang menyebabkan sapi tidak dapat bersendawa. Kedua hal di atas menyebakan terperangkapnya gas hasil fermentasi dalam rumen dan menyebabkan terjadinya peningkatan volume rumen.

Biasanya kembung akan terlihat setelah 15 – 30 menit setelah konsumsi pakan yang berkonsentrat tinggi. Pada kasus yang ringan gejala kembung akan mengempis spontan, selain itu kontraksi rumen akan normal kembali setelah 3-4 jam. Kondisi kembung yang berlangsung lama menunjukkan gejala klinis yang khas. Sisi perut bagian kiri mengembung/menonjol, jika ditepuk bersuara nyaring. Sapi akan terlihat sesak nafas dan menendang-nendang bagian perut. Lesu dan tidak mau makan. Pada anak sapi yang terkena kembung akan menunjukkan gejala kolik. Pada kasus akut dapat menyebabkan kematian.

Pengobatan kasus kembung dapat dilakukan sesuai dengan derajat keparahan dan penyebab penyakitnya. Pengobatan dari kasus kembung diutamakan ialah pengeluaran gas terlebih dahulu. Pada kasus akut dapat dilakukan dengan menusukkan jarum bertabung besar atau trokar kedalam dinding rumen. Jarum atau trokar dapat ditusukkan pada bagian tengah daerah segitiga legok lapar di bagian kiri tubuh sapi. Setelah itu dicari penyebabnya, apabila terjadi obstruksi maka segera atasi obstruksi yang terjadi.

Pada kasus kembung karena busa, dapat diberikan beberapa agent yang memiliki sifat antibusa. Obat-obat tradisional yang memiliki sifat antibusa antara lain minyak-minyak tumbuhan. Dapat dilakukan juga pemberian obat-obatan khusus untuk mengatasi kembung seperti timpanol, poloxalone, ataupun cresol. Selain itu juga dapat dilakukan pemberian antibiotik untuk menekan produksi gas dalam rumen.

Untuk mencegah terjadimya kasus kembung di perlukan manajemen dan perencanaan yang baik, karena dapat mengurangi secara signifikan jumlah kasus. Hindari pemberian pakan konsentrat dalam jumlah yang banyak. Selain itu hindari juga pemberian rumput yang masih segar dan basah. Usahakan rumput yang diberikan telah mengalami pelayuan terlebih dahulu. Hindari pemberian pakan dari golongan leguminosa atau kacang-kacangan yang berpotensi menyebabkan terjadinya kembung. Penyediaan air minum secara tidak terbatas (ad libitum). Pencegahan penyakit kembung akan lebih mudah dilakukan dari pada mengobatinya.

Sumber : Blowey RW. 2004. Digestive Disorders of Calves. Andrews AH, Editor: Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle Second edition. State Avenue: Blackwell Publishing Company


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Japanese Encephalitis di Indonesia

Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit zoonosa yang dapat menyebabkan terjadinya radang otak pada hewan dan manusia. Penyakit ini bersifat arbovirus karena ditularkan dari hewan kemanusia melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini telah menyebar luas di Asia bagian Timur seperti Jepang, Korea, Siberia, China, Taiwan, Thailand, laos, Kamboja, Vietnam. Philipina, Malaysia, Indonesia, Myanmar, Banglades, India, Srilangka, dan Nepal. Di Indonesia, kasus JE pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 ( Erlanger 2010) . Kasus JE banyak di laporkan di daerah Bali. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan bahwa identifikasi kasus encephalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004 menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantranya secara serologis mengarah pada kasus JE. Selain itu , kasus JE pada manusia juga dilaporkan di beberapa daerah yaitu di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Tim...

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...

Mendeteksi Bahaya Tersembunyi: Salmonella spp. pada Telur dan Daging Ayam Lintas Pulau

Salmonelosis merupakan salah satu penyakit zoonotik berbasis makanan ( food-borne disease ) yang paling penting di seluruh dunia. Agen penyebab utamanya, Salmonella spp. , dapat menginfeksi manusia melalui konsumsi produk hewan yang terkontaminasi, terutama telur dan daging ayam. Produk unggas ini dikenal sebagai reservoir utama Salmonella spp. , sehingga menjadi titik kritis dalam upaya pengendalian dan pencegahan penyakit. Penularan Salmonella spp. terjadi sepanjang rantai makanan, mulai dari proses produksi di peternakan, penanganan pasca panen, hingga distribusi, termasuk saat produk dilalulintaskan antar pulau. Ketidakhigienisan selama proses ini meningkatkan risiko kontaminasi, memperbesar peluang penularan kepada konsumen. Dalam sebuah penelitian, dilakukan deteksi Salmonella spp. pada telur ayam konsumsi yang berasal dari empat pengirim berbeda antar pulau. Sebanyak 270 sampel diambil menggunakan metode acak berlapis dan diperiksa dengan metode konvensional. Has...