Langsung ke konten utama

Pemeriksaan Aflatoxin pada Bahan Baku Pakan

Aflatoksin merupakan salah satu jenis  mikotoksin hasil metabolisme kapang. Ada tidaknya aflatoxin pada pakan hewan menjadi sebuah hal yang sangat penting. Dengan adanya aflatoxin pada pakan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang sangat signifikan  pada hewan yang memakanya, sehingga pemeriksaan aflatoxin pada bahan baku pakan yang dgunakan penting digunakan. Beberapa pemeriksaan aflatoxin yang biasa digunakan ialah dengan pemeriksaan secara visual menggunaan ultra violet atau dengan menggunakan metode pemeriksaan lainya. Berikut beberapa metode pemeriksaan aflatoxin


Pemeriksaan Aflatoxin dengan menggunakan lampu ultraviolet

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan jamur yang berpotensi menghasilkan aflatoxin secara cepat. Pemeriksaan dengan metode ini memiliki kekurangan yaitu pengukuran kadar aflatoxin dilakukan scara kualitatif sehingga kurang akurat dan bersifat subjektif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengamati bahan baku yang telah di pecah dengan blander sebanyak 2 kali (50 g) di bawah sinar lampu ultraviolet. Aflatoxin ditandai dengan adanya pertikel bahan baku yang memancarkan cahaya kuning kehijauan (florosence). Gambar pemeriksaan aflatoxin dengan menggunakan lampu ultraviolet disajikan pada gambar 4.

 

Pemeriksaan Aflatoxin dengan menggunakan “Charm

Metode “Charm” merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengukur kadar Aflatoksin yang terdapat di dalam bahan baku. Metode ini memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi dan mengukur kadar toksin dengan akurat. Akan tetapi alat ini juga memiliki kekurangan yaitu pengerjaannya yang memakan waktu yang cukup lama dan biaya operasional yang cukup tinggi. Gambar peralatan “Charm” disajikan pada gambar 5.

Pemeriksaan dengan menggunakan “Charm” dimulai dengan menghomogenkan bahan baku yang telah dihaluskan sebanyak 50 g dengan larutan etanol 50%  sebanyak 150 ml selama 3 menit. Lalu campuran tersebut di biarkan mengendap. Kemudian ambil cairan di permukaan larutan sebanyak 1 ml dengan pipet dan cairan tersebut dimasukan ke dalam tabung efendof. Selanjutnya tabung tersebut di sentrifuse selama 20 detik. Apabila cairan tersebut belum jernih (masih keruh), maka cairan tersebut diambil dengan spuid 1 ml dan di saring dengan saringan 0,45 micron.  Setelah itu, campurkan cairan tersebut sebanyak 100 µl dengan larutan buffer sebanyak 1 ml dan dihomogenkan. Lalu larutan tersebut dimasukan ke dalam striptest khusus mengukur aflatoxin sebanyak 300 µl. Kemudian striptes tersebut diinkubasi pada suhi 48 °C selama 10 menit. Setelah itu, striptest dimasukan ke dalam reader untuk dibaca. Pada memeriksaan aflatoxin bahan jagung, nilai maksimum yang dapat diterima sebesar 50 ppb, hal ini sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalan SNI No 01-4483-1998 tentang Jagung-Bahan Baku Pakan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mendeteksi Bahaya Tersembunyi: Salmonella spp. pada Telur dan Daging Ayam Lintas Pulau

Salmonelosis merupakan salah satu penyakit zoonotik berbasis makanan ( food-borne disease ) yang paling penting di seluruh dunia. Agen penyebab utamanya, Salmonella spp. , dapat menginfeksi manusia melalui konsumsi produk hewan yang terkontaminasi, terutama telur dan daging ayam. Produk unggas ini dikenal sebagai reservoir utama Salmonella spp. , sehingga menjadi titik kritis dalam upaya pengendalian dan pencegahan penyakit. Penularan Salmonella spp. terjadi sepanjang rantai makanan, mulai dari proses produksi di peternakan, penanganan pasca panen, hingga distribusi, termasuk saat produk dilalulintaskan antar pulau. Ketidakhigienisan selama proses ini meningkatkan risiko kontaminasi, memperbesar peluang penularan kepada konsumen. Dalam sebuah penelitian, dilakukan deteksi Salmonella spp. pada telur ayam konsumsi yang berasal dari empat pengirim berbeda antar pulau. Sebanyak 270 sampel diambil menggunakan metode acak berlapis dan diperiksa dengan metode konvensional. Has...

Japanese Encephalitis di Indonesia

Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit zoonosa yang dapat menyebabkan terjadinya radang otak pada hewan dan manusia. Penyakit ini bersifat arbovirus karena ditularkan dari hewan kemanusia melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini telah menyebar luas di Asia bagian Timur seperti Jepang, Korea, Siberia, China, Taiwan, Thailand, laos, Kamboja, Vietnam. Philipina, Malaysia, Indonesia, Myanmar, Banglades, India, Srilangka, dan Nepal. Di Indonesia, kasus JE pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 ( Erlanger 2010) . Kasus JE banyak di laporkan di daerah Bali. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan bahwa identifikasi kasus encephalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004 menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantranya secara serologis mengarah pada kasus JE. Selain itu , kasus JE pada manusia juga dilaporkan di beberapa daerah yaitu di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Tim...

Telur Tetas: Menjaga Kehidupan dari Dalam Cangkang

Di balik kulit cangkang yang keras, tersimpan rahasia kehidupan yang menakjubkan. Telur tetas bukan sekadar bahan pangan; ia adalah awal dari perjalanan seekor unggas baru. Bagi peternak, telur tetas adalah modal berharga untuk memastikan keberlanjutan produksi. Sementara bagi peneliti dan pecinta satwa, telur tetas merupakan contoh sempurna bagaimana keteraturan alam dapat berpadu dengan sentuhan teknologi. Telur tetas adalah telur yang telah dibuahi oleh pejantan dan memiliki potensi untuk menetas menjadi anak unggas. Di dalamnya terdapat embrio yang, jika mendapatkan suhu, kelembapan, dan perlakuan yang tepat, akan berkembang hingga memecahkan cangkang. Proses ini dapat terjadi secara alami melalui pengeraman induk, atau secara buatan dengan menggunakan mesin tetas atau inkubator. Namun, tidak semua telur dapat dijadikan telur tetas. Hanya telur yang memenuhi kriteria tertentu yang memiliki peluang menetas tinggi. Telur tetas yang baik berasal dari induk yang sehat dan bebas penyaki...