Langsung ke konten utama

Penyakit Anjing Gila?

Adakah yang tahu tentang penyakit Anjing Gila?

Penyakit Anjing Gila atau biasa disebut RABIES merupakan penyakit yang sedang mewabah di beberapa daerah di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Didunia kasus rabies menyebabkan lebih dari 60.000 kematian pada manusia setiap tahunnya. Kasus kematian akibat rabies, 95% terjadi di Asia dan Afrika, dengan 15 % kasus kematian akibat rabies terjadi pada anak di bawah 15 tahun. Berdasarkan data dari WHO Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam wilayah tertular rabies. Data dari Kemenkes menyebutkan bahwa di Indoensia samapai pada bulan april 2023 terdapat 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies, 23.211 kasus gigitan yang sudah mendapatkan vaksin anti rabies, dan 11 kasus KEMATIAN dengan 26 provinsi yang menjadi endemis rabies. Hal ini menunjukan bahwa penyakit rabies masih menjadi masalah penting yang harus segera diatasi.

 

Rabies merupakan penyakit virus yang bersifat zoonotik yang dapat menyerang hewan dan manusia. Penyakit ini di sebabkan oleh agen virus neurotropik yang termasuk dalam famili Rhabdoviridae genus Lyssavirus. Virus rabies ditularkan melalui gigitan hewan yang telah terkena rabies.  Rabies juga dapat ditularkan melalui luka terbuka pada kulit, mukosa mata, hidung, dan mulut. Kasus gigitan rabies dapat berakibat fatal baik pada hewan maupun manusia. Virus ini dapat menginfeksi sistem saraf pusat sehingga menyebabkan kerusakan pada otak dan berlanjut pada kematian. Setelah virus masuk ke dalam tubuh, gejala penyakit dapat muncul dalam waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan. Rabies merupakan penyakit yang serius dan mematikan, oleh karena itu penting bagi kita untuk memahami bahaya yang terkait dengan penyakit ini.

Salah satu cara umum penularan rabies pada manusia adalah melalui gigitan atau luka yang terkontaminasi oleh air liur hewan yang terinfeksi virus rabies. Terutama anjing, kucing, rubah, rakun, dan kelelawar dianggap sebagai pembawa rabies yang paling umum. Saat hewan tersebut mengigit atau melukai seseorang, virus rabies dapat ditularkan ke manusia melalui luka tersebut. Meskipun jarang terjadi, rabies juga dapat ditularkan melalui air liur hewan yang terinfeksi yang masuk ke dalam luka terbuka atau selaput lendir manusia.

Pada hewan, gejala klinis yang muncul akibat kasus rabies dapat berupa perubahan pola perilaku hewan yang biasaya jinak akan menjadi lebih agresif dan ganas (hewan selalu ingin mengigit apapun yang dijumpai), demam, pelebaran pupil, mulut berliur atau hipersalivasi, terjadi perubahan suara, kejang, Seringkali terdengar suara tersedak seolah-olah ada tulang terjebak di tenggorokan dan upaya untuk mengeluarkan "tulang" tersebut, dan akhirnya hewan akan lumpuh dan mengalami kematian.

Pada manusia gejala yang muncul seringkali mirip dengan flu biasa, termasuk demam, sakit kepala, dan kelelahan. Namun, seiring penyakit berkembang, gejala-gejala yang lebih serius muncul, seperti kecemasan, kebingungan, gangguan tidur, kesulitan menelan, dan sensitivitas terhadap cahaya. Selanjutnya, seseorang mungkin mengalami kejang-kejang, kelemahan otot, dan kegilaan. Setelah gejala-gejala ini muncul, kematian biasanya terjadi dalam beberapa hari.

Masa inkubasi kasus rabies sangat beragam bisa berkisar mulai dari 2 minggu hingga 6 tahun (rata-rata 2-3 bulan). Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lokasi, luas, dan kedalaman luka, jarak antara lokasi luka dengan susunan saraf pusat, konsentrasi partikel virus yang diinokulasi dan strain virus. Usia dan status kekebalan tubuh korban juga mempengaruhi lamanya masa inkubasi. Selain itu juga disebutkan bahwa, kedekatan lokasi gigitan yang lebih dekat ke otak atau SSP memiliki masa inkubasi yang lebih singkat. Pada saat masa inkubasi gejala yang disebutkan diatas biasanya tidak muncul. Hal inilah yang membuat banyak orang terkecoh dan tidak melakukan tindakan lanjutan untuk mendapatkan pengobatan setelah tergigit anjing yang menjadi penular utama penyakit rabies. Padahal penyakit rabies sangatlah berbahaya sehingga tindakan pengendalianya sangat penting untuk dilakukan.

Satu-satunya cara untuk mencegah rabies pada hewan dan manusia adalah dengan vaksinasi. Jika seseorang digigit oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies, perawatan medis segera diperlukan. Pengobatan awal termasuk membersihkan luka dengan sabun dan air, serta memberikan vaksin rabies sesegera mungkin setelah terpapar. Vaksinasi dilanjutkan selama beberapa waktu untuk membangun kekebalan tubuh terhadap virus.

Rabies merupakan ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia, terutama di daerah yang memiliki populasi hewan terinfeksi tinggi. Rabies mempengaruhi tidak hanya kesehatan fisik manusia, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam banyak kasus, rabies dapat dicegah dengan mengontrol populasi hewan pembawa dan menyediakan vaksinasi yang memadai untuk hewan peliharaan.

Untuk melindungi diri dan orang-orang di sekitar kita, penting untuk memiliki pengetahuan tentang risiko rabies dan tindakan pencegahan yang diperlukan. Hal ini termasuk menjaga jarak aman dari hewan yang tidak dikenal, melaporkan hewan liar yang terlihat sakit atau berperilaku aneh kepada pihak berwenang, dan memastikan hewan peliharaan kita divaksinasi dengan vaksin rabies secara teratur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar di...

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...