Langsung ke konten utama

Vulnus pada Kuda

Vulnus (luka) adalah kerusakan, robek, atau pemisahan jaringan pada kulit yang disebabkan karena trauma mekanis, termis, atau kimiawi dengan atau tanpa disertai perdarahan. Vulnus (luka terbuka) sering terjadi pada kuda karena kuda memiliki aktivitas motorik yang tinggi apalagi jika berada pada lingkungan kandang yang tidak terawat dengan baik.

Kasus vulnus biasanya disebabkan oleh trauma benda tajam (paku, sisa pohon, kawat pagar dan sebagainya) atau benda tumpul (batu, batang pohon, tali pelana dan sebagainya). Vulnus dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya antara lain: saddle druck (luka dipunggung akibat pemasangan pelana yang tidak sempurna), strackle (luka di bagian medial kaki), vulnus punctio (luka akibat tusukan benda tajam), vulnus serrativa (luka akibat goresan kawat), vulnus incisiva (luka akibat tusukan benda tajam), vulnus traumatica (luka akibat hantaman benda tajam). 




Luka atau vulnus yang ditemukan pada kuda umumnya terjadi karena trauma mekanis. Trauma disebabkan benturan yang keras benda tumpul maupun benda tajam, benturan dengan dinding, kayu penyangga atau dinding lantai yang kasar.

Gejala klinis bervariasi menurut daerah yang mengalami trauma. Umumnya di daerah ekstremitas yakni siku dan phalanx. Gejala klinis yang mengikuti vulnus pada phalanx adalah sikap berdiri yang tidak koordinatif. Gejala yang tampak di lapang berupa robeknya sebagian kulit, pengerasan daerah sekitar kulit dan kadang berbau busuk dan eksudat di daerah vulnus menjadi mukopurulen jika telah berlangsung lama. Eksudat di daerah vulnus yang telah mukopurulen merupakan indikasi telah terjadi infeksi sekunder dari bakteri lingkungan yang menghasilkan nanah, misalnya Streptococcus dan Stahpylococcus. Gejala-gejala yang muncul jika tidak segera ditangani dapat memicu terjadinya miasis.

Pengobatan luka dapat dilakukan dengan kompres air dingin selama 2-3 hari. Hal ini bertujuan menetralisir suhu panas akibat terjadinya inflamasi dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga pengeluaran darah terhenti. Selanjutnya dilakukan kompres air hangat untuk memperlancar aliran darah sampai terjadi persembuhan luka. Luka dicuci dengan antiseptik (Rivanol®) untuk menghindari masuknya kuman pada saat pengobatan dan selanjutnya dioleskan antibiotik topikal (amlegu dengan kandungan zat aktif Ampisilin, Levetran dan Gusanex) pada daerah luka dengan tujuan mencegah kontaminan selama proses persembuhan. Jika pengobatan bertujuan untuk menumbuhkan jaringan baru, dapat diberikan Bioplasenton® pada daerah luka sebelum pemberian antibiotik topikal. Pengobatan secara sistemik dengan pemberian antibiotik (Pyroxy® dengan zat aktif Oxytetracyclin) dan antipiretik (Anti Cold® dengan zat aktif Aminopyrine dan Sulpyrine).

Selain itu, Terapi pada kasus vulnus dapat dilakukan dengan cara membersihkan luka menggunakan kain lembut dan air hangat, dilakukan penggosokan pada luka sampai dihilangkan jaringan yang nekrosis, setelah terjadi perdarahan di berikan Rivanol®, Iodium tincture selanjutnya diberi Salep Lefimycetine® 10 gr atau antibiotika lain dan pemberian B-complex® inj i.m 10 ml secara IM. Selain itu juga disemprotkan gusanex® agar tidak terjadi infestasi larva lalat pada luka terbuka.

Pemberian Rivanol dimaksudkan untuk membersihkan luka. Iodium tinctur berfungsi sebagai antiseptik dan pemberian antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Evaluasi dan pengobatan dilakukan setiap hari selama 3 hari. Perubahan baru terlihat setelah satu minggu, dimana luka sudah mulai mengering.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Japanese Encephalitis di Indonesia

Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit zoonosa yang dapat menyebabkan terjadinya radang otak pada hewan dan manusia. Penyakit ini bersifat arbovirus karena ditularkan dari hewan kemanusia melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini telah menyebar luas di Asia bagian Timur seperti Jepang, Korea, Siberia, China, Taiwan, Thailand, laos, Kamboja, Vietnam. Philipina, Malaysia, Indonesia, Myanmar, Banglades, India, Srilangka, dan Nepal. Di Indonesia, kasus JE pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 ( Erlanger 2010) . Kasus JE banyak di laporkan di daerah Bali. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan bahwa identifikasi kasus encephalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004 menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantranya secara serologis mengarah pada kasus JE. Selain itu , kasus JE pada manusia juga dilaporkan di beberapa daerah yaitu di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Tim...

Stud tail ( Feline Tail Gland Hyperplasia)

Pernah punya kucing yang ekornya selalu kotor berwarna hitam , kadang berkerak, bahkan sampai bisa menyebabkan kebotakan? Klo teman-teman punya kasus serupa ini biasa disebut Stud tail   atau istilah kerenya Feline Tail Gland Hyperplasia. Pengertian Kasus Stud Tail merupakan suatu kondisi ketika ekor kucing jantan memiliki kelenjar Apokrin ( keringat )   dan kelenjar Sebaceus ( minyak) yang aktif pada bagian atas ekor. Kelenjar ini menghasilkan hipersekresi lilin yang membuat lesi kucing menjadi berkerak dan membuat kerontokan pada rambut (bulu). Jika kondisi ini sudah parah, maka bisa membuat ekor kucing menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan menyebabkan bau tak sedap. Kasus ini umumnya terjadi pada kucing jantan walaupun demikian tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada kucing betina. Selain di bagian ekor kondisi ini juga bisa terjadi dibagian bawah dagu kucing. Penyebab Pada kasus ini ternjadi hiperplasia pada kelenjar sebaceus dan apokrin sehingga terjadi...

Mendeteksi Bahaya Tersembunyi: Salmonella spp. pada Telur dan Daging Ayam Lintas Pulau

Salmonelosis merupakan salah satu penyakit zoonotik berbasis makanan ( food-borne disease ) yang paling penting di seluruh dunia. Agen penyebab utamanya, Salmonella spp. , dapat menginfeksi manusia melalui konsumsi produk hewan yang terkontaminasi, terutama telur dan daging ayam. Produk unggas ini dikenal sebagai reservoir utama Salmonella spp. , sehingga menjadi titik kritis dalam upaya pengendalian dan pencegahan penyakit. Penularan Salmonella spp. terjadi sepanjang rantai makanan, mulai dari proses produksi di peternakan, penanganan pasca panen, hingga distribusi, termasuk saat produk dilalulintaskan antar pulau. Ketidakhigienisan selama proses ini meningkatkan risiko kontaminasi, memperbesar peluang penularan kepada konsumen. Dalam sebuah penelitian, dilakukan deteksi Salmonella spp. pada telur ayam konsumsi yang berasal dari empat pengirim berbeda antar pulau. Sebanyak 270 sampel diambil menggunakan metode acak berlapis dan diperiksa dengan metode konvensional. Has...