Langsung ke konten utama

Kasus Rhinitis pada kucing


Sistem respirasi adalah sistem organ yang digunakan untuk pertukaran gas. Sistem

respirasi memiliki dua bagian penting yaitu organ yang berfungsi menyalurkan udara (saluran respirasi) serta organ yang berfungsi sebagi tempat pertukaran gas. Paru-paru merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat pertukaran gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2). Sedangkan saluran respirasi merupakan system organ yang berfungsi menyalurkan gas dari lingkungan luar tubuh masuk hingga ke alveoli paru-paru. Saluran respirasi dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu saluran respirasi atas dan saluran respirasi bawah
.

Pada hewan, terdapat pembagian tipe pernafasan atau respirasi yaitu tipe costal, tipe abdominal atau gabungan dari keduanya yaitu tipe costoabdominal. Pembagian tipe pernapasan ini di dasarkan pada cara-cara bergerak dinding thoraks atau abdomen sewaktu proses respirasi. Bila pada proses respirasi dominan dinding thoraks yang bergerak maka disebut tipe costal, begitu pula sebaliknya. Bila keduanya dominan terlihat bergerak maka disebut tipe costoabdominal. Pada hewan karnivora seperti kucing, umumnya tipe pernafasannya ialah costal (Wijaya 2011).

Kelainan pada sistem respirasi dapat menyebabkan berbagai macam hal, antara lain, batuk, bersin,  sesak nafas, kekurangan oksigen, kelumpuhan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu kelainan yang biasa terjadi pada saluran pernafasan ialah Infeksi Saluran pernafasan. 

Infeksi saluran pernafasan merupakan suatu kejadian infeksi yang melibatkan organ atau saluran pernapasan berupa hidung, sinus, faring, trachea, bronchus, bronkhiolus hingga ke paru-paru. Infeksi saluran pernafasan dapat terjadi pada semua hewan termasuk hewan kecil seperti anjing dan kucing. Salah satu infeksi saluran pernafasan yang umumnya terjadi pada kucing ialah rhinitis.


Etiologi
Penyebab terjadinya rhinitis pada kucing dapat berupa virus, bakteri dan jamur. Umumnya virus yang dapat menyerang kucing ialah dari golongan herpes virus yang meliputi feline viral rhinotracheitis (FVR) (Eldredge et al. 2008). Rhinitis kronis umumnya disebabkan oleh adanya infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan adanya dircharge mukopurelent yang cukup banyak dari sinus-sinus hidung. Penyebab rinitis kronis juga dapat disebabkan oleh adanya penyakit radang kronis (rhinitis lymphoplasmacytic), trauma, parasit (Cuterebra), benda asing, neoplasia, atau infeksi mikotik (Khan 2011).

Patogenesis

Rhinitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan dari kucing ke kucing melalui kontak langsung dengan cairan terinfeksi dari mata, hidung, mulut, melalui makanan terinfeksi, mangkuk air, dan tangan manusia, bahkan dapat menular melalui udara. Virus ini stabil di lingkungan selama 24 jam sampai 10 hari, tergantung pada kondisi lingkungan disekitarnya. Replikasi Virus akan terjadi didalam epitel dari saluran pernafasan, konjunktivita. Replikasi virus dalam jaringan epitel ini meungkinkan terjadinya nekrosa jaringan secara lokal. Pengeluaran virus terjadi antara lain melalui sekret hidung, konjunktivita dan urin. (Eldredge et al.2008). 

Gejala klinis biasanya muncul setelah 2-17 hari setelah paparan vius dalam tubuh kucing. Seringkali infeksi virus ini akan diiukuti oleh adanya infeksi sekunder dari bakteri (Eldredge et al.2008). Infeksi sekunder dapat disebabkan oleh adanya penurunan imunitas dari hewan akibat adanya infeksi virus. penurunan imunitas ini dapat menyebabkan bakteri dapat berkembang lebih baik dan menyebabkan infeksi yang terjadi semakin parah. 

Gejala Klinis
Hewan yang mengalami kejadian Rhinitis   dapat menunjukkan gejala klinis yang beragam. Mulai dari bersin, batuk, demam, mengalami kelainan bernafas (nafas cepat atau melambat), keluarnya discharge dari rongga hidung.  Gejala klinis lainya yang dapat muncul ialah hipersalivasi, kemudian terlihat produksi air mata berlebihan. Kejadian ini juga dapat menyebabkan terjadinya laryngitis, faryngitis dan tracheitis. Selaput lendir hidung akan terlihat kemerahan dan diikuti pembengkakan tonsil (Eldredge et al.2008).
           
Diagnosa
Diagnosa kasus infeksi pernafasan dapat dilakukan berdasarkan anamnesa, gejala, pemeriksaan klinis, pemeriksaan darah, pembiakan kultur, ataupun melalui metode rongen. Pemeriksaan darah atau hematology berguna untuk meneguhkan diagnosa tentang agen yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan (Foster et al. 2011).

Differensial Diagnosis
Differensial diagnosa pada kasus rhinitis ialah sinusitis. Kadang perbedaan antara kedua jenis penyakit ini tidak begitu jelas dan cukup sulit dibedakan karena gejala yang menyertai kedua penyakit ini tidak berbeda (Khan 2011).

Faktor Predisposisi
Kejadian rhinitis biasanya lebih banyak terjadi pada anak kucing atau pada kucing yang sudah berumur tua, selain itu kasus ini juga banyak menyerang kucing jantan serta kucing liar yang memiliki interaksi yang lebih sering dengan kucing lainya (Dinnage et al. 2009).

Terapi
Terapi yang dapat dilakukan pada pengoabatan rhinitis ialah dengan pemberian antibiotik untuk mencegah atau menhilangkan adanya infeksi sekunder bakteri. Selain itu dapat juga dilakukan terapi symtomatis untuk meringankan gejala penyakit yang ada. Pemberian makanan suplement juga diperlukan untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Pencegahan
Pencegahan kasus infeksi saluran pernafasan dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi lengkap pada hewan. Vaksinasi dapat dilakukan secara intranasal atau intramuskuler pada umur 9-12 minggu. Vaksin FVR dapat dikombinasikan dengan pemberian vaksin untuk melawan infeksi Calicivirus (Khan 2011). Walaupun demikian, vaksinasi tidak akan memberikan perlindungan yang utuh. Namun, tingkat patogenitas virus infeksi akan lebih rendah pada hewan yang divaksinasi dari pada hewan yang tidak divaksinasi.  


D         Daftar Pustaka

            Dinnage JD, Scarlett JM, Richards JR. 2009. Descriptive epidemiology of feline upper respiratory tract disease in an animal shelter.  J Feline Med Surg 11(10):816-25.

Eldredge DM, Carlson DG, Carlson LD, Giffin JM. 2008. Cat Owner’s Home Veterinary Handbook Third Edition.   New Jersey : Wiley Publishing

Foster S, Martin P. 2011.  Lower Respiratory Tract Infection In Cat Reaching beyond empirical therapy. Journal of Feline Medicine and Surgery  13: 313–332

Kahn CM. 2011. The Merck Veterinary Manual, Ninth Edition. USA: Merck & Co., Inc.

Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook  5th Edition.USA: Blackwell Publishing
Wijaya A. 2011. Saluran Pernafasan. Editor: Setyo Widodo. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar diseluruh belahan dunia. Di ind

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Abses pada sapi

Sapi perah Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah. Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang berada dalam kavitas jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk . Abses itu sendiri merupakan reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebar nya benda asing di tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang . Gejala khas abses adalah peradangan, merah, hangat, bengkak, sakit, bila abses membesar biasanya diikuti gejala demam, selain itu bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).