Langsung ke konten utama

Babesiosis pada Anjing

Babesiosis atau periplasmosis merupakan salah satu infeksi parasit yang biasa terjadi pada anjing. Kejadian babesiosis disebabkan oleh protozoa Babesia  sp dari filum Apicomplexa. Pada anjing kejadian babesiosis umumnya disebabkan oleh adanya infeksi Babesia canis dan Babesia gibsoni. Perbedaan keduanya ialah Babesia canis memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan Babesia gibsoni. Ukuran Babesia canis  lebih besar dari tiga mikron (> 3 µ), sedangkan Babesia gibsoni lebih kecil dari tiga mikron (<3 µ) (Adam et al. 1971). Pada hasil pengamatan terlihat bahwa babesia yang menginfeksi memiliki ukuran yang kecil sehingga dimungkinkan babesia yang menginfeksi dari spesies Babesia gibsoni.

 Gambar 1   Babesia sp. di sel darah merah anjing 

Parasit babesia bersifat intraseluler pada  sel darah merah. Infeksi babesia umumnya melalui vektor. Pada anjing, vektor yang paling sering dilaporkan dapat menularkan babesia ialah caplak dari spesies Rhipicephalus sanguineus filum Ixodidae (Atmojo 2010).  Beberapa laporan menyebutkan pada infeksi ringan tingkat parasetemianya kurang dari 1%, sedangkan infeksi berat bila tingkat parasetemianya sudah melebihi 1% (Schetters et al. 1997).

Infeksi babesiosis dapat terjadi  dengan tanpa gejala, atau menimbulkan gejala ringan sampai  berat, tergantung  derajat infeksi, patogenitas agen serta kerentanan dari inang. Anak anjing cenderung lebih sensitif terkena babesiosis dibandingkan  anjing dewasa.  Gejala akut yang sering diperlihat pada infeksi babesia ialah adanya demam, ataksia, anoreksia, kelemahan, kelesuan,  kadang-kadang juga terdapat tanda-tanda saraf sebagai akibat dari penyerapan eritrosit yang terinfeksi di kapiler otak. Pada kasus kronis kadang terjadi kondisi  Anemia dan haemoglobinuria. Dilaporkan bahwa kejadian babesia umumnya berlangsung subklinis. Penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya anemia hemolitik, trombositopenia, dan splenomegali. Tanda lainya yang dapat menunjukkan adanya infeksi babesia adalah  pucat gusi dan lidah, urin berwarna merah atau oranye, penyakit kuning (semburat kuning pada kulit, gusi, putih mata, dll), pembesaran kelenjar getah bening, dan pembesaran limpa (Boozer & Macintire 2005).

Pada infeksi yang berat babesia dapat menyebabkan adanya anemia hemolitik yang berat. Selain itu, pada infeksi yang kronis anjing biasanya memperlihatkan anemia dan demam dengan hiperplasia limfoid dan limfositosis. Anjing yang terinfeksi babesiosis dapat menghasilkan kekebalan yang bertahan seumur hidup terhadap penyakit ini (OIE 2010)

Infeksi babesia biasanya terjadi dari vektor caplak (Rhipicephalus sanguineus).  Siklus hidup, tropozoit yang ikut masuk pada saat caplak menghisap darah akan memasuki eritrosit, selanjutkan akan mengalami proses Merogoni (pembentukan Merozoit) dengan pembelahan ganda (biner),  penguncupan (endodyogeni), endopolygeny dan atau perbanyakan berlipat ganda (skizogoni) di dalam endotel pembuluh darah organ sehingga dihasilkan Merozoit. Sebagai akibat terjadi perbanyakan Merozoit mengakibatkan sel endotel pecah dan merozoit akan memasuki sel endotel baru. Pada saat caplak menghisap darah, merozoit ikut terhisap, didalam tubuh caplak ada kemungkinan terjadi perkembangan kembali. Fase merozoit ini dapat bertahan pada tubuh caplak dalam waktu yang lama, selain ini fase merozit juga dapat di tranmisikan melalui transovarial dan transstadial  (Boozer & Macintire 2005).

Diagnosa hewan yang terkena babesiosis dapat dilakukan dengan pengamatan tanda-tanda klinis berupa haemoglobinuria dan anemia. Diagnosa kemudian dapat dikonfirmasi dengan  pengamatan babesia pada preparat ulas darah yang diwarnai dengan pewarna giemsa kemudian diamati dibawah mikroskop dengan pembesaarn 100x. Hasil positif ditunjukkan oleh adanya babesia dalam sel darah merah.

Selain itu, diagnosa laboratorium lainya yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya  infeksi babesia ialah melalui pemeriksaan Elisa, PCR atau menggunakan FAT.  Penggunaan PCR dalam diagnosis babesia sangat meningkatkan sensitivitas deteksi parasit, namun cara ini masih terbatas pada laboratorium tertentu (OIE 2010).



Daftar Pustaka
Adam KMG, Paul J, Zaman V. 1971. Medical and Veterinary protozoology. London: Churchill livingstone.
Atmojo SD. 2010. Identifikasi Protozoa Parasit Darah pada Anjing (Canis sp.) Ras Impor di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta.[Skripsi]. Program Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Boozer L, Macintire D. 2005. Babesia gibsoni: An Emerging Pathogen in Dogs. Compend Contin Educ Pract Vet 27(1):33-41.

OIE (The World Organisation for Animal Health). 2010. OIE Terrestrial Manual 2010. http://www.oie.int.  [di akses 18 Juni 2012].

Schetters  THPM , Moubri K , Precigout EKleuskens J, Scholtes NC, Gorenflot.  1997. Different Babesia canis isolates, different diseases. Parasitology 115 : 485-493.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Distemper pada Anjing

Canine Distemper merupakan   salah satu penyakit penting pada anjing yang dapat menyebabkan kematian yang cukup tinggi . Tingkat kematian akibat Canine distemper pada anjing menempati urutan kedua setelah rabies (Deem et al . 2000).   Canine distemper disebabkan oleh adanya infeksi Canine distemper virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi virus distemper dapat beragam, tergantung organ yang diserang. Virus distemper umumnya dapat menyerang beberapa sistem organ seperti sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem saraf dan kulit.   Infeksi canine distemper virus menyebabkan adanya lesio khas pada kulit yaitu Footpad Hyperkeratosis yang biasa disebut dengan Hard Pad Disease   ( Koutinas et al. 2004).   Gambar 1. Anak Anjing (Dokumentasi Pribadi) Canine distemper pertama kali di isolasi oleh Carre pada tahun 1905. Penyakit ini tersebar diseluruh belahan dunia. Di ind

Kasus Displasia Abomasum pada Sapi

Displasia Abomasum (DA) merupakan suatu kondisi dimana terjadi perpindahan abomasum dari lokasi yang sebenarnya.  Umumnya kasus DA banyak terjadi pada sapi perah ( Friesian Holstein ) yang memiliki produksi susu yang tinggi. Kasus ini biasanya terjadi pada akhir masa kebuntingan berkisar 2 minggu sebelum kelahiran (2 minggu prepartus ) dan pada awal masa laktasi yaitu sekitar 8 minggu setelah kelahiran (8 minggu post partus). Selain sapi, kasus DA juga dapat terjadi pada jenis ruminansia lainya, walaupun kasus pada rumininasia lainnya jarang terjadi.

Abses pada sapi

Sapi perah Abses merupakan salah satu masalah yang cukup sering terjadi pada sapi perah. Kondisi abses banyak terjadi pada peternakan sapi perah yang memiliki tingkat sanitasi kandang yang rendah. Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang mati) yang berada dalam kavitas jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius karena infeksi dari bakteri pembusuk . Abses itu sendiri merupakan reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebar nya benda asing di tubuh. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi dan dikelilingi oleh jaringan yang meradang . Gejala khas abses adalah peradangan, merah, hangat, bengkak, sakit, bila abses membesar biasanya diikuti gejala demam, selain itu bila ditekan terasa adanya terowongan (Boden 2005).